Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi


SEJARAH HADIS PRAKODIFIKASI
A.Pendahuluan

      Dalam sejarah periodesasi hadis versi Hasbi Ash-Shiddiqiey, terdapat tujuh periodesasi. Masa wahyu dan pembentukan masyarakat (ashr wahy wa al-taqwim) (13 SH-11H); Periode pembatasan dan penyelidikan hadis (ashr tatsbut wa al-iklal min al-riwayah) (12H-40H); Periode Penyebaran hadis ke berbagai wilayah (ashr intisyar riwayat ila al-amshar) (41H- akhir abad I H); Periode Penulisan dan Pembukuan Hadis secara Resmi (ashr al-kitabat wa al-tadwin). (II H-akhir); Periode Pemurnian, Penyehatan, dan penyempurnaan (ashr tajrid wa altashih wa al-tanqih) (awal IIIH-akhir); Periode pemeliharaan, penertiban, dan penghimpunan (ashr Tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u) D(IV H-Jatuhnya Baghdad (656H); Periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (al-Syarh, wa al-jam’u wa takhrij) (656 H-Sekarang).[1]
      Pedoman hidup umat Islam sebagai sumber hukum adalah A-Quran dan Al-hadits yang sudah barang tentu tidak diragukan dan tidak dapat ditawar tawar lagi. Sebagai petunjuk hidup manusia Al-Quran masih bersifat umum. Oleh karena itu untuk mengapikasikan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, sangat membutuhkan penjelasan-penjelasan berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi Muhammad saw, yang disebut hadits.[2]
B.Hadis pada periode rasul
     Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.[3]
      Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhatihati dalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan.3 Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan hadits.[4]
     Namun yang menjadi penyebab utama lahirnya pemahaman yang radikal atas hadits Nabi ialah bagaimana cara dan proses dalam memahami teks (hadits). Abu Zaid menunjukan tiga kemungkinan dalam membaca teks, yang tentunya setiap taraf bacaan memiliki implikasi pemahaman yang berbeda. Pertama; membaca biasa adalah sikap yang memperlakukan teks sebagai petunjuk sehingga pemaknaan terhadap teks hanya pada taraf permukaan, kedua: pembacaan secara tafsir yang melampaui pembacaan biasa, karena dalam menyingkap makna teks sudah menggunakan ilmu bahasa dan ulum al-Qur’an. Ketiga: ta’wil merupakan pembacaan yang tidak hanya menggunkan ilmu-ilmu dalam tafsir tetapi juga ilmu ilmu kemanusiaan, sehingga mampu menyingkap makna teks yang lebih mendalam.[5]

C.Hadis pada periode sahabat
     Setelah Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan praktiknya tentu saja memainkan peran yang penting dalam pembuatan keputusan dalam komunitas muslim awal, setidaknya di wilayah-wilayah di mana Nabi pernah mengekspresikan pandangan-pandangan yang diketahui secara umum. Selama masa kehidupan Nabi, sebagian pengikutnya meminta pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Al-Quran, ‘Wahai orang-orang beriman … patuhilah rasul (Muhammad)’, dan ‘Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat berkeinginan untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada umat Islam yang baru meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak semua sahabat nabi setuju dengan penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar dan Umar bin Khattab yang cenderung sangat membatasi penulisan hadis karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat dekat dengan nabi dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati demikian ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis rasulullah, dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa tabiin senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak pemalsuan hadis, maka penulisan hadis mulai dibutuhkan. Pada masa tabiin,. Saifuddin Zuhri Qudsi,   269 kebutuhan akan hadis semakin nyata seiring dengan semakin banyak sahabat Rasulullah yang wafat.[6]
 
   Para sahabat rasul adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak bisa baca tulis, namun demikian mereka mempunyai kemampuan hapalan yang luar biasa. Semenjak zaman jahiliyah mereka biasa menghapal  nasab atau garis keturunan sampai nenek moyang mereka, riwayt-riwat tentang yang mereka alami, dan bahkan mereka pun hapal syair-syair dan kitabah-kitabah yang pernah di ucapkan. Dengan kekuatasn hapalan bangsa Arab yang sedemikian rupa,  seolah-olah telah  mempersiapkan mereka untuk  mendukung dating kenabian Muhammad saw. [7]
D. Hadis pada periode tabiin
    Pada periode keempat, yakni hadis pada masa I ntisyar riwaya il al amshar (penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah Umayyah. [8]
   Sama halnya dengan para tabiin yang mengkuti jejak para sahabat yang menolak penulisan hadis dan ada pula yang membolehkannya. Diantara mereka yang menentang penulisan hadis adalah Ubaidah ibn Yazid al-Taimi, Jabir ibn Zaid dan Ibrahim alNakhal. Keengganan para tabiin dalam penulisan hadis semakin meningkat tatkala mereka menyadari bahwa banyak diantara ahli hadis di masa itu yang menyertakan pendapatnya ketika meriwayatkan hadis, sehingga dikhawatirkan apabila riwayat tersebut akan terikut pula dituliskan pendapat sang perawi, dan umat yang datang kemudian setelah mereka kemungkinan besar menduga bahwa pendapat perawi tersebut adalah hadis juga. Dan ketika kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara penulisan hadis dan pendapat perawi dapat diatasi, maka sebagian besar tabiin memberikan kelonggaran bahkan mendorong murid-murid mereka untuk menuliskan hadis-hadis yang diterimanya oleh ibn Abbas. Diantara para tabiin yang menuliskan hadis adalah Abd al-Rahman ibn Harmalah yang diberi kelonggaran oleh Said ibn al-Musayyab. Demikian juga, Amir al-Syabi seorang ulama fiqh dari kalangan tabiin bahkan memerintahkan para muridnya untuk menuliskan setiap hadis yang disampaikannya kepada mereka.[9]

   Maksud dari kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode kodfikasi adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara yaitu pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Berangkat dari itu maka bisa disimpulkan bahwa fokus kajian pada bab ini adalah terkait dengan naskah atau dokumen hadis Nabi pada masa sebelum kodifikasi resmi. Sebagaima jamak diketah      ui bahwa beberapa sahabat telah menuliskan sunnah (hadis) pada masa keNabian. Semisal Abdullah bin Amru bn Ash, al-Anshari yang tidak mampu menghafal hadis, dan para sahabat lainnya yang aktif menuliskan hadis namun sayangnya kita tidak mampu memahami isi dari naskah-naskah hadis tersebut karena sebagian sahabat dan tabiin memilih untuk membakar atau mencuci naskah pribadi mereka dengan air sebelum dijemput maut.[10]

E.DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Al-Muna, 2013.
Jabar, Algifri Muqsit. “Membahas Kitab Hadis (Kitab Sahih Bukhari Dan Sunan Turmudzi).” B.S. thesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas Ushuluddin, 2017, n.d.
———. “Membahas Kitab Hadis (Kitab Sahih Bukhari Dan Sunan Turmudzi).” B.S. thesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas Ushuluddin, 2017, n.d.
Qudsy, Saifuddin Zuhri. “Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis.” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 14, no. 2 (2013): 257–276.
Rosyanti, Imas. “Penggunaan Hadis Dalam Tafsir Al-Maraghi.” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 2, no. 2 (2018): 137–146.
Wahid, Muhammad Abduh. “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI.” Jurnal TAHDIS 6, no. 1 (2019).
———. “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI.” Jurnal TAHDIS 6, no. 1 (2019).












[1] Wahid, “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI,” 2019, hlm.02.
[2] Jabar, “Membahas Kitab Hadis (Kitab Sahih Bukhari Dan Sunan Turmudzi),” n.d., hlm.07.
[3] Arifin, Studi Kitab Hadis, hlm.11.
[4] Wahid, “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI,” 2019, hlm.07.
[5] Rosyanti, “Penggunaan Hadis Dalam Tafsir Al-Maraghi,” hlm.3.
[6] Jabar, “Membahas Kitab Hadis (Kitab Sahih Bukhari Dan Sunan Turmudzi),” n.d., hlm.21.
[7] Rosyanti, “Penggunaan Hadis Dalam Tafsir Al-Maraghi,” hlm.51.                                    v
[8] Wahid, “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI,” 2019, hlm.13.
[9] Jabar, “Membahas Kitab Hadis (Kitab Sahih Bukhari Dan Sunan Turmudzi),” n.d., hlm.23.
[10] Qudsy, “Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis,” hlm.52.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadis Sebagai Sumber Ajaran Agama

Jagan Lukai Hati Ibumu