Hadis Sebagai Sumber Ajaran Agama
![]() |
Saima Putri Mahasiswi IAIN Padangsidimpuan Prodi:Pendidikan Agama Islam Email:saimap628@gmail.com |
Hadis Sebagai Sumber Agama,
Dalil-dalil Kehujjahan Hadis, Dan Fungsi Hadis Terhadap Al-Quran
Pendahuluan
Kehujjahan
hadits dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan teologis sekaligus.
Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini
oleh setiap muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an
agar manusia beriman dan menaati Nabi. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib
sebagaimana dikutip oleh Idri, bila seseorang mengaku iman kepada Rasulullah,
maka konsekuensi logisnya menerima segala sesuatu yang datang darinya yang
berkaitan dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan
syariatNya kepada umat manusia. Allah juga memerintahkan untuk beriman dan
menaati Nabi. Jadi, menerima hadits sebagai hujjah atau sebagai sumber hukum merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan seseorang. Apabila tidak
menerima hadits sebagai sumber hukum, maka sama halnya seseorang itu tidak
beriman kepada Rasulullah. Jika tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia kafir
karena tidak memenuhi salah satu dari enam rukun yang harus diimani.
Pembahasan
A.Hadis
Sebagai Sumber Agama
Sebagai
bangunan atau konstruksi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran,
petunjuk hidup dan sebagainya, Islam membutuhkan sumber yang darinya dapat
diambil bahan-bahan yang diperlukan guna mengkonstruksi ajaran Islam tersebut. Mengacu
kepada ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik sesudahnya”.
QS. An-Nisa’: 59.
Kedudukan
Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima
oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga
di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak
diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang
berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala
perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat
islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih- lebih jika diyakini bahwa Nabi
selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti
membawa jaminan teologis.Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya
ditemukan sekitar 50 ayat5 yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat
kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan sebagai
berikut:
Artinya:
Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan
apa-apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Menurut ulama ayat tersebut
memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah dan larangan yang berasal
dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang beriman. Dengan demikian ayat
ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu
kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan
seseorang. Dalam surat al-Nisa’ ayat 80 juga dikemukakan :
Artinya:
Barang siapa yang mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah.[2]
Seluruh umat
Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam menempati
kedudukan setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam merupakan keharusan untuk
mengikuti hadis sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an baik berupa perintah
maupun larangan. Sebab Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber syari’at yang
saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari’at kecuali
dengan merujuk kepada keduanya sekaligus dan seorang mujtahid tidak mungkin
mengabaikan salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’[4]:59.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[3]
Sebagai
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, hadits memiliki fungsi yang pada
intinya sejalan dengan al-Qur’an. Keberadaan hadits tidak dapat dijelaskan dari
adanya sebagian ayat al-Qur’an 1) yang bersifat global (garis besar) yang
memerlukan perincian, 2) yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki
pengecualian, 3) yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki
pembatasan; dan ada pula 4) isyarat al-Qur’an yang mengandung makna lebih dari
satu (musytarak) yang menghedaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua
makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai
keterangannya di dalam al-Qur’an yang selanjutnya diserahkan kepada hadits
Nabi. Selain itu ada pula yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an tetapi hadits
datang pula memberikan keterangan sehingga masalah tersebut menjadi kuat.
Dalam
kaitan ini, hadits berfungsi sebagai petunjuk dan isyarat bagi al- Qur’an yang
bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat al-Qur’an yang bersifat
umum, sebagai pembatas terhadap ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, juga
sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak dijumpai dalam
al-Qur’an. [4]
B.
Dalil-dalil Kehujjahan Hadits
Kata
Kehujjahan merupakan kata berimbuhan yang berasal dari kata “hujjah”. Secara
etimologi, hujjah berarti alasan. Sedangkan secara terminologi, hujjah berarti
alasan yang harus dikemukakan untuk menetapkan atau mempertahankan pandangan
yang diajukan. Kata hujjah disebut juga dengan dasar penetapan hukum. Imbuhan
Imbuhan ke dan an pada kata “kehujjahan” berarti keadaan. Dengan demikian, kata
“kehujjahan” berarti kedaan dari alasan yang dikemukakan, keadaan dari alsan
yang dijadikan sebagai dsara penetapan hukum. Dengan kata lain, kehujjahan
berarti dapat tidaknya alasan yang dikemukakan diijadikan sebagai dasar
penetapan hukum. Dengan demikia, kehujjahan hadis maksudnya adalah dapat
tidaknya hadis dijadikan alasan (dasar) dalam penetapan hukum (Islam).
Seluruh
kaum muslimin telah sepakat bahwa sabda, perbuatan dan
taqrir
Rasulullah Saw. yang dimaksudkan sebagai undang-undang dan peedoman hidup umat
yang harus diikuti, dan yang sampai kepada kita dengan sanad (sandaran) yang
sahih, sehingga memberikan keyakinan ang pasti atau dugaan yang kuat bahhwa hal
itu datang dari Rasulullah, adalah sebgai hujjah bagi kaum muslimin dan sebagai
sumber syari‟at tempat pra mujtahid mengeluarkan hukum-hukum syara‟.
Dalam
kaitannnya dengan masalah ini, Muhammad „Ajjaja al-Khatib[5]
C. Fungsi
Hadis Terhadap Al-Quran
Allah
swt. menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi dan Rasul-Nya,Muhammad saw. yang penuh
berisi hikmah sebagai hidayah kepada kebahagiaan dan keselamatan manusia di
dunia dan akhirat. Ia adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. Sesuatu yang berasal
dari Nabi saw. yang biasa disebut dengan hadis mempunyai hubungan dan kaitan
erat dengan Al-Qur’an. oleh Al-Qur’an yaitu sebagai bayan (penjelasan dan
menerangkan terhadap terhadap Al-Qur’an. Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an itu
diungkapkan sendiri Hubungan dan kaitan Hadis dengan Al-Qur’an biasa disebut
fungsi hadissesuatu yang kabur dan tersembungi pengertiannya). Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Nahl: 44 :
Terjemahnya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Fungsi-fungsi
Hadis terhadap Al-Qur’an ada yang disepakati dan tidak ada perbedaan pendapat.
Hal tersebut dapat diketahui dari penjelasan berikut ini:
1.
Bayan al-Taqrir. Bayan al-Taqrir ada
juga yang menyebut Bayan al-Tawkid atau Bayan al-Itsbat. Al-Taqriir berarti
memperkuat, mempertegas, dan mendukung. Maksudnya, hadis mempertegas,
memperkuat, dan mendukung sesuatu yang telah diungkapkan Al-Qur’an. Hadis
mengungkap kembali isi kandungan yang diungkap Al-Qur’an tanpa ada penjelasan
lebih lanjut dan terperinci. Sebagai contoh, pahamilah firman Allah dalam QS.
Al-Maidah: 62.
2.
Bayan al-Tafsir Hadis menjelaskan
ayat yang tidak mudah diketahui pengertiannya. Itulah yang disebut hadis
berfungsi sebagai bayan al-tafsir bagi ayat Al- Qur’an. Bayan al-tafsir ini ada
beberapa macam. Di antaranya ialah:
a. Tafshil al-ayat al-mujmalah Kata
tafshil berarti menjelaskan dan merinci. Sedangkan kata al- mujmalah berarti
yang ringkas (global), tidak terperinci. Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi
sebagai tafshil al-ayat al-mujmalah adalah hadis memerinci pengertian ayat yang
ringkas (global), hadis menjelaskan panjang lebar maksud kandungan ayat yang
tidak terperinci. Sebagai contoh adalah ayat yang memerintahkan mendirikan
salat, tidak diperinci dan tidak dijelaskan oleh ayat itu sendiri dan ayat lain
tata caranya, tidak diterangkan rukun-rukunnya, tidak disebut waktu-waktu
pelaksanaannya, dan lain-lain.
b. Takhshish al-Ayat al-‘Ammah Kata
takhshish berarti menentukan dan mengkhususkan.
c. Taqyid al-Ayat al-Muthlaqah Kata taqyid
berarti mengikat dan membatasi.
d. Bayan al-Ta’yin li al-Ayat al-Musytarakah Kata
al-ta’yiin berarti menentukan. Sedangkan kata al-musytarakah berarti lafal yang
mempunyai makna yang banyak. Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi sebagai bayaan
al-ta‘yiin li al-ayat al-musytarakah adalah hadis datang menentukan makna yang
dikehendaki dari ayat.
3. Bayaan al-Tasyrii’
yang dimaksud hadis berfungsi sebagai
bayan al-tasyri’ adalah hadis sendiri
Kata al-tasyri’ berarti pembuatan,
perwujudan, penetapan aturan. Jadi, mewujudkan, membuat, dan menetapkan suatu
ketentuan, aturan, dan hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
3.
Bayan al-Nasikh Kata al-nasikh
berarti membatalkan, memindahkan, dan mengubah[6]
perhatian ulama terhadap penelitian
kesahihan hadis akan lain daripada yang ada sekarang ini. Kedudukan hadis,
menurut kesepakatan mayoritas ulama, adalah sebagai salah satu sumber ajaran
Islam.Akan tetapi, terdapat juga sekelompok kecil dan kalangan
"ulama" dan umat Islam telah menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Mereka ini biasa dikenal sebutan inkar al-Sunnah. Pada zaman Nabi
(w. 632 M.), belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa telah
ada dari kalangan umat Islam yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam.Bahkan pada masaal-Khulafa' al-Rasyidin (632 M.-661 M.) dan Bani
Umayyah (661M.750M.), belum terlihat jelas adanya kalangan umat Islam yang
menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka yang berpaham
inkar al-Sunnah,sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Syuhudi Ismail, barulah
muncul pada awal masa 'Abbasyiah (750 M.-1258 M.).3Mereka juga dikenal dengan sebutan
munkir al-Sunnah. [7]
Allah swt telah mentakdirkan
Rasul saw menjadi orang yang paling mengetahui kehendak al-Qur’an di antara
hamba-hambanya. Karena itu tidak mengherankan kalau Allah saw menugaskan kepada
beliau menjelaskan al-Qur’an kepada para manusia di samping menyampaikannya
kepada mereka. Al-Qur’an membutuhkan bayan. Bayan al-Qur’an harus di cari di
dalam al- Sunnah. Hal ini berarti al-Sunnah merupakan jalan memahami al-Qur’an.
Karena itulah maka al-Imam Ahmad Ibn Hanbal pernah berkata: Mencari hukum di
dalam al-Quran harus melalui al-Sunnah, Mencari agama pun demikian juga. Jalan
yang sudah dibentangkan untuk memperoleh fiqih Islam dan syari`tnya yang agung
ialah al-Sunnah. Orang yang mencukupkan dirinya dengan al-Qur’an saja, tidak
memerlukan pertolongan al-Sunnah dalam memahaminya dan dalam mengetahui
syari`tnya, akan sesat dan tidak akan sampai pada tujuan yang dikehendakinya.[8]
Fungsi al-Hadits
terhadap al- Qur`an yang paling pokok adalah sebagai bayân,
Sebagaimana ditandaskan dalam ayat: “ k e
t e r a n g a n - k e t e r a n g a n (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)”.
1.
Al-Qur`ân telah menghalalkan makanan yang baik-baik (Qs.5:1), dan megharamkan
yang kotor- kotor (Qs.7:156); tetapi di antara keduanya (di antara yang baik-
baik dan yang kotor-kotor) itu ada terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau
syuhbat, yang samar- samar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya).
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan
segala minuman yang tidak memabukan, dan mengharamkan segala mi- numan yang
memabukkan.
3.
Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap oleh hewan-hewan
pemburu yang sudah diajar dengan patuh dan mengerti.
4.
Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan dengan muthlaq,
artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka
diwajibkan jaza (balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya).[9]
Sudah
terang bahwa Al-Qur’an al-Karim dan hadis Rasulullah SAW merupakan sumber
ajaran Islam sekaligus pedoman hidup setiap muslim yang mesti diperpegangi. Di
dalam khazanah keislaman, al-Qur’an lazim disebut sebagai sumber utama
(pertama) dan hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW yang membacanya merupakan suatu ibadah (Manna’ Khalil al-Qaththan,
1994:18). Sedangkan hadis atau biasa juga disebut sunnah adalah segala
perkataan, perbuatan dan hal ihwal yang berhubungan dengan nabi Muhammad SAW
(Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, 1989:108). Dalam kapasitasnya sebagai pedoman
hidup umat Islam, antara al-Qur’an dan hadis tidak dapat dipisahkan karena
al-Qur’an sebagai sumber utama dijelaskan oleh hadis, sehingga hadis disebut
sebagai bayan terhadap al-Qur’an surat al-Nahl ayat 44. Merujuk pada uraian di
atas, maka sebagai pedoman hidup, al-Qur’an dan hadis mesti dijadikan imam atau
ikutan dalam kehidupan sehari-hari yang mana kedua-dua sumber tersebut
dipatuhi, diacu dan di laksanakan perintah-perintahnya serta dihentikan
larangan-larangannya.[10]
Hadits
menempati posisi kedua setelah al-Quran sebagai sumber hukum, terutama dalam rangka
istinbath al-ahkam, demikian kata Abu Zahrah.4 Lebih lanjut, ketegasan mengenai
eksistensi hadits begitu juga al-Quran, al-Utsaimin mengemukakan sebagai
berikut :
Pengetahuan mengenai
posisi hadits dalam Islam, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai
tugas-tugas yang dibebankan kepada Nabi Muhammad Saw., Dalam al-Quran, kita
memperoleh beberapa keterangan bahwa Nabi Saw., mempunyai tugas dan wewenang
sebagai berikut :
1.
Menjelaskan kitab Allah (al-Quran) Tugas ini berdasarkan firman Allah, ”Dan
Kami turunkan kepadamu al- Dzikr (al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada
manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka. (QS. Al-Nahl: 44).
Penjelasan Nabi Saw., terhadap al- Quran dapat berupa perkataan beliau, dan
dapat pula berupa perbuatan beliau.
2.
Memberikan teladan Tugas ini didasarkan pada firman Allah Swt.,”Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah it suri teladan yang baik bagimu”.
(al-Ahzab:21). Nabi bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya, sementara
umatnya wajib mencontoh dan meniru teladan itu.
3.
Rasulullah Saw., wajib ditaati Tuntutan untuk mentaati Rasulullah adalah firman
Allah, ”Wahai orang- orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan
Rasul-Nya. (QS al-Anfal:20). Dalam konteks kehidupan sekarang, taat kepada Allah
berarti taat kepada ajaran- ajaran yang termaktub dalam al-Quran, sementara
taat kepada rasul berarti taat pada apa yang termaktub dalam kitab-kitab
hadits.
4.
Menetapkan hukum Dalam hal-hal tertentu yang tidak ada keterangannya dalam
al-Quran, Nabi dianugrahi otoritas untuk menetapkan hukum secara independen.
QS. Al-A’raf ayat 157, telah memberikan otoritas kepada Nabi, ”Rasul
menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik, dan mengharamkan bagi mereka
segala sesuatu yang buruk”.[11]
Al-qur, Al-sunnah
Bayan, ‘Al-Sunnah Sebagai Bayan Al-Qur’an’, 16, 2
An, Terhadap Al-qur,
Institut Agama, Islam Negeri, and Iain Mataram, ‘ع َ ا ط َ َ ف د ْ ق َ و س ل َ لا
ُ ر ع ِ ُ ي ن ِ ط ُ س ُ خ ُ ا ه ُ ا َ ت َ آ ا م ُ َ ف لو هو ذ م َ َ ن ا م َ و َ
لا م ُ ر ُ ك ْ ك ) 7 ( … او ه ُ َ ت ْ نا َ ف ه’, 12.2 (2015), 180–82
‘In Reply: BEHAVIOUR
THERAPY’, The British Journal of Psychiatry, 111.479 (1965), 2–3
<https://doi.org/10.1192/bjp.111.479.1009-a>
Islam, Metodologi Studi,
‘Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam |’, 1210703032, 1975, 125–58
Jayadi, M., ‘KEDUDUKAN
DAN FUNGSI HADIS DALAM ISLAM Oleh’, Jurnal Adabiyah, XI.2 (2011), 245–51
<http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/view/1730>
Khotimah, Indah Husnul,
‘STUDI HADITS : POLEMIK HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM’, December, 2018
Makatungkang, Ramli,
‘KEHUJJAHAN AS SUNNAH DALAM MENGISTINBATKAN HUKUM ISLAM’, Jurnal Ilmiah
Al-Syir’ah, 2.2 (2016) <https://doi.org/10.30984/as.v2i2.222>
Rudi, Oleh, and Ahmad
Suryadi, ‘Hadits : Sumber Pemikiran Tujuan Pendidikan’, Jurnal Pendidikan
Agama Islam - Ta’lim, 9.2 (2011), 162–64
<http://jurnal.upi.edu/file/06_Hadits_Sumber_Pemikiran_Tujuan_Pendidikan_-_Rudi.pdf>
Tasbih, ‘Kedudukan Dan
Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam’, AL-FIKR Jurnal Pemikiran Islam,
14.3 (2010), 331–32
<http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/2326>
Usmi, Fahrul, ‘Al
Qur’an Dan Hadist Sebagai Pedoman Hidup Umat Islam (Serial Materi Ajar Al
Qur’an Hadist MTs)’, 2009 <http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=526:al-quran-dan-hadis-sebagai-pedoman-hidup-umat-islam-serial-materi-ajar-al-quran-hadis-mts&catid=41:top-headlines>
[1] Ramli Makatungkang, ‘KEHUJJAHAN AS SUNNAH DALAM MENGISTINBATKAN HUKUM
ISLAM’, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, 2.2
(2016) <https://doi.org/10.30984/as.v2i2.222>.
[2] Tasbih, ‘Kedudukan Dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam’, AL-FIKR Jurnal Pemikiran Islam, 14.3
(2010), hlm. 331–332
<http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/2326>.
[3] Metodologi Studi Islam, ‘Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam |’,
1210703032, 1975, hlm. 125–58.
[4] Indah Husnul Khotimah, ‘STUDI HADITS : POLEMIK HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN ISLAM’, December, 2018.
[5] Makatungkang.
[6] M. Jayadi, ‘KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS DALAM ISLAM Oleh’, Jurnal Adabiyah, XI.2 (2011), hlm. 245–51
<http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/view/1730>.
[7] ‘In Reply: BEHAVIOUR THERAPY’, The
British Journal of Psychiatry, 111.479 (1965), hlm. 2–3
<https://doi.org/10.1192/bjp.111.479.1009-a>.
[8] Al-sunnah Bayan Al-qur, ‘Al-Sunnah Sebagai Bayan Al-Qur’an’, 16, hlm. 2.
[9] Terhadap Al-qur An and others, ‘ع َ ا ط َ َ ف د ْ ق َ و س ل َ لا ُ ر ع ِ ُ ي ن ِ ط ُ س ُ خ ُ ا ه ُ ا َ ت َ آ ا م ُ َ ف لو هو ذ م َ َ ن ا م َ و َ لا م ُ ر ُ ك ْ ك ) 7 ( … او ه ُ َ ت ْ نا َ ف ه’, 12.2 (2015),
180–82.
[10] Fahrul Usmi, ‘Al Qur’an Dan Hadist Sebagai Pedoman Hidup Umat Islam
(Serial Materi Ajar Al Qur’an Hadist MTs)’, 2009 <http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=526:al-quran-dan-hadis-sebagai-pedoman-hidup-umat-islam-serial-materi-ajar-al-quran-hadis-mts&catid=41:top-headlines>.
[11] Oleh Rudi and Ahmad Suryadi, ‘Hadits : Sumber Pemikiran Tujuan Pendidikan’,
Jurnal Pendidikan Agama Islam - Ta’lim,
9.2 (2011), hlm. 162–64
<http://jurnal.upi.edu/file/06_Hadits_Sumber_Pemikiran_Tujuan_Pendidikan_-_Rudi.pdf>.
Komentar
Posting Komentar